Albert Camus,
Albert Camus itu salah satu pujangga Prancis yang mempunyai kelebihan dalam sastra (anggitan/fiksi) dan gagasan. Bagus dalam tata bahasa, penuh dengan muatan budi dan pekerti. Maka hampir semua tulisannya memuat pemikiran yang bisa untuk mencari perkara kehidupan dan juga jadi bekal wawasan untuk siapa saja yang suka meneliti takdir illahi, perjalanan kehidupan.
Contoh, Camus tadi punya perasaan dan gagasan yang suram tentang jaman dan kelakuan manusia. Bagi Camus, sifat hidup itu sebentar, tidak kekal, berubah-ubah tanpa tujuan. Manusia pasti mati, tidak tahu apa sebenarnya yang di kehendaki sang pencipta — apa lagi tidak bisa di pastikan kalau “Tuhan sang pencipta” itu benar-benar ada.
keadaan tadi yang di sebut “absurditas”. Yang jadi masalah, apa absurditas itu pantas jadi patokan untuk menjawab segala hal yang ada di dalam dunia ini. “ada satu pertanyaan yang sangat penting ditataran filsafat, yaitu mati(layu=mati/ ngalayu? Memati? menuju mati?). menimbang hidup manusia, apa memang pantas di jalani, itu bagaikan menjawab pertanyaan yang paling dasar.” Itulah prakata buku Le Myth de Sisyphe (ceritanya Sisifus) yang diterbitkan di tahun 1943.
Dongèng tadi dicuplik dari mitologi Yunani, menceritakan salah satu orang sakti, setengah déwa, Sisifus namanya, yang sedang menjalani hukuman para déwa. Sisifus dipidana harus membawa satu batu besar, digéndhong di punggung, naik gunung tinggi sampai puncak. Tetapi sesampai di puncak, batu tadi akan di pastikan mengelinding turun lagi. Sisifus harus ikut turun. Batu tadi harus di ambil lagi dan di panggul. Sisifus harus menggulang berjalan terengah-engah menuju puncak. Demikian itu selamanya. Tidak akan habis, tidak ada penghabisan.
bagi Camus, cerita Sisifus tadi cocok jadi perlambang kehidupan manusia, yang merambah perjalanan sejarah, tidak pernah ketemu dan tidak pernah mendapat yang menjadi keinginannya. Masyarakat sosialis yang di idamidamkan, jugamasyarakat kapitalistis yang di agung-agungkan, ternyata bukan akhir sejarahartinya, tida bisa membuat kebahagiaan yang utuh dan sejati. Manusia mencari kesempurnaan, tetapi selalu tidak mungkin dicapai. Yang namanya “tatanan tenteram suburmakmur murah sandang pangan” seperti yang di ungkapkan para dalang pertunjukan (wayang kulit) itu tidak pernah ada dan tidak akan ada.
namun demikian, hidup itu tetap sebuah perjalanan yang pantas di hargai. Di akhirnya, “kita bisa menganggap jika Sisifus sebenarnya bahagia”. Begitulah yang diungkapkan Camus. Orang yang di hukum itu lama-lama seperti menyatu dengan batu yang jadi beban di punggungnya. Beban tadi lalu di rengkuh ,mantab, seperti meresap dalam jiwa. Ya dengan begitu itu Sisifus bisa teguh menjalani nasib yang pasti harus di jalani. Tidak mau menghindar; bagaikan berani menantang rancangan dan kehendak para déwa.
ketika menerangkan jika manusia bisa dan harus kuat menghadapi absurditas seperti tadi, Camus seperti meneruskan ungkapan yang di kemukakan oleh Nietzsche, salah seorang filosof dari Jerman jaman seratus tahun sebelumnya, yaitu Amor Fati (“mencintai takdir”). Aku, manusia, “menyanggupi” keberadaan hidupku, seperti menerima kebahagiaan; hidup itu seharusnya diterima dengan penghargaan dan dengan rasa suka cita, walaupun sewaktu-waktu mendapat duka cita. Maka aku, manusia, tidak akan termangu-mangu dalam melakukannya, sukacita, terhadap sejuknya angin, sorot matahari yang hangat, birunya ombak lautan,h arumnya bungga, nikmtnya cinta. Manusia harus berani meraih jika “hidup” itu ya hidupnya raga dan jiwa, bukan duplikat dari sukma
Namun menetapkan keyakinan yang seperti itu tadibisa bisa jadi tidak baik, seprti memegang teguh wawasannya orang yang berani namun angkuh, tidak perduli terhadap sakit dan mati. Juga sakit dan matinya orang lain. Novel yang diterjemahkan jadi orang luar ini bahasa prancisnya l’étranger. Kata ini mempunyai tapsir macam-macam “orang luar”, “orang luar negeri”, “yang tidak di kenal”, atau “yang tidak pernah ketemu”. Meursault, yang jadi peran, dia salah satu orang Prancis yang lahir dan hidup di Algiers. Peri lakunya seperti orang yang tidak punya hati dan tega , tidak punya rasa kasihan. Ibunya meninggal dunia, tetapi Meursault tidak tampak sedih dan kehilangan. Diceritakan, ketika baru berlibur di pantai, dia berantem dengan seseorang. Walaupun tidak begitu terpaksa, Meursault mencabut pistolnya dan di tembakkan, membunuhsalah satu orang arab yang terlihat membawa pisau akan mengancam dirinya. Tidak sampai di situ saja, dia malah menembaki mayatnya orang Arab tersebut empat kali. Meursault lalu di tangkap dan diadili. Membunuh tadi dianggap kelakuan yang tidak punya dasar yang meyakinkan.
hidupnya Meursault memang seperti hidup yang seperti tampa dasar apa-apa, ibarat hanya terdiri dari tubuh kasar saja, tampa pemikir, tidak punya kasih sayang. Bagi Meursault, yang penting kira-kira ya kehendak hati dalam hidup yang sekelebat. Ada kata yang dipakai Camus ketika Meursault curhat sebelum menjalani hukuman mati: le tendre indifférence du monde. Kira-kira seperti ini katanya: Aku hidup di dunia, tetapi sekitarku tidak aku perhatikan, hanya aku lihat aku dengarkan sayup-sayup, karena sebenarnya aku tidak peduli.
Para pembaca akan tahu jika Camus tidak punya kehendak menggarang cerita yang bisa jadi pelajaran tentang baik dan buruk; novel tadi bukan bukan bacaan yang penuh teladan untuk budi pekerti. Jika ada yang bisa dianggap jadi inti buku tadi ya tidak bakal jauh dari pengertian absurditas dan Amor Fati: Meursault itu sebenarnya protes dengan “peraturan baku” tentang surga, neraka, dan norma-norma masarakat yang diambil dari “peraturan baku” tadi. Orang ini tidak punya ilusi, tidak bisa di pengaruhi keyakinannya jika akan ada kehidupan setelah mati. bagi Meursault, semua itu hanya dongèng.
namun yang belum jelas di bahas dalam orang luar, menurutku, yakuwi: apa kemantapan yang jadi alur cerita ini hanya pantas untuk orang seperti Meursault, artinya orang satu yang hidupnya tanpa memikirkan keadaan orang lain, hidup yang tidak di bebani dengan berkeluarga, maka bisa mantab dalam menjemput absurditas, awal mula kehidupan.
pertanyaan itu terjawab dalam novel karangan Camus yang juga terkenal, La Peste, (bencana), terbitan tahun 1947. Yang jadi pemeran di sini seorang dokter, Rieux namanya. Dokter Rieux mantab tekadnya akan untuk menang melawan bencana yang sedang berada di kota Oran, wabah yang jadi penyebab matinya banyak orang. Dokter ini juga nylenèh juga mengagumkan, sebab dia termasuk orang yang tidak percaya terhadap Tuhan, apa apalagi percaya ajaran agama. Rieux memberi pertolongan kepada orang lain sebab menurit aturan masyarakat, tidak karena percaya jika akan naik surga. Pendeknya , orang ini mau berkarya tanpa menunggu pujian. Dia juga mengerti, jika hilangnya bencana tadi tidak akan berlangsung selamanya; manusia akan mendapatkan kebahagiaan lagi di jaman kedepan . tapi Dokter Rieux bersedia melakukan kenyataan, seperti Sisifus, ibarat menentang terhadap sejarah yang tidak mungkin, menantang kehendak yang menciptakan hidup. Tapi berbeda dengan Sisifus, dia bukan orang sakti tanpa anak buah, tidak milih jadi satria utama satu satunya. Dia bekerja bersama sama teman temannya, menghilangkan kesengsaraan orang lain, mengurangi rasa sakit orang lain yang terkena bencana. Dokter Rieux itu seperti mengingatkan, jika manusia itu bukan makluk solitèr, yang hanya berjalansendiri-sendiri, tapi makluk solidhèr, perhatian terhadap sesama.
maka di dalam buku yang menggungkap pengertian dan filsafatnya Camus tentang sejarah, l’Homme Revolté (“Manusia pemberontak”), ada kata kata yang dalam maknanya: “Aku memberontak, maka kita semua ada bersama”, je me revolte, donce nous sommes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar