Ae. R


Senin, 27 Juni 2011

Syair Tak Terlupakan

Di bawah terang
Setengah Purnama
Bara api unggun
Hangatkan gejolak 

Mengalun hasrat
Menjadi sebait syair
Takkan terlupakan


Namaku namamu
Terlindung di bawah Naungan 
Kekal dalam genggaman
Abadi dalam kenang


Abdie,27062011

Photo By Deny Jacko


Matahariku

Duhai,matahari
Kemana gerangan embun
Setelah pagi mencumbunya

Menjadi lembaran kisah siang kah?
Saling bertukar kabar dengan rindu
Yang tak henti di tabur para pencinta
Kisah yang takan pernah ada ujungnya

Hingga suatu masa nanti beningnya,
Menjelma belati yang siap mengiris hati
Pun duri pada setangkai mawar
Yang siap melukai saat menyentuhnya

Tetap saja,
Ia teramat indah tuk di lupakan
Meski jiwa-jiwa merana saat bercerita
Mengenang sebuah putaran semesta

Duhai, matahari
Sampai kapan pagi mencumbu embun
Beningnya menyatu di terangmu
Agar siang bukanlah lembaran kesia-siaan

Duhai, matahari
Engkaulah saksi
Tiap putaran semesta


Abdie,27062011

Memaknai Kita

sayang 
dingin ini
seperti duri
menusuk dinding hati


membeku jiwa
tanpa derai kata
bisu menuju muara
sunyi...


hilangmu,
adanya cinta
nyata bukan sia-sia
di lembaran kata


kehilanganmu,
memberi makna
aku masih punya rasa
butuh waktu melupakanmu


Tuhan,
bersama kasihmu
damainya abadi




Abdie,2010

Ibuku Pelitaku

Dalam setiap hembusan nafas dan irama tubuhmu
Dalam kegelisahan dan kegalauanku dekapanmu semakin erat
Dalam rindu dan kerinduan kau tak pernah melepasnya

Berubah sudah kini usiaku
Aku bukan balita kecil lagi
Kaulah yg membentuk jiwa
Kaulah pengelola emosi yg labil ini
Kau merubahnya jd haluan
Kau selalu memberiku cahaya kehidupan
sampai malam larut kau bercerita
mengantarku ke gerbang mimpi

Saat yg lain tertidur lelap
Aku tahu kau tidak pernah merasa nyenyak
Sementara aku hanya berpacu dengan emosiku
Kau selalu tengadah dan bersujud
Keyakinanmu begitu kuat
Tdk pernah membiarkanku berjalan tanpa arah
Terlindas jaman yg kian keras

Kau mengantarku kedalam ruang pengetahuan
Saat kata dan ucapku bagaikan titik air
kau merubahnya menjadi samudera
kau mengajari mata kosong ini bukan hanya untuk melihat
kau selalu mengingatkanku untuk dapat memandang
Kau sungguh matahariku
Tak pernah berhenti berjalan
Selalu menyinari dan menerangi
Semua peradaban dan kehidupan manusia

Seandainya aku bisa,
Membalas semua cinta dan segenap kasihmu
Seandainya aku mampu,
Memberikan kilau cahaya seterang yang kau berikan
seandaikan aku mampu dan bisa memberikan
dekapan sehangat dekapanmu, kasih setulus kasihmu,
kebijakan, sebijak nasihatmu....
Kutahu, setiap tengadah tanganmu selalu berharap untuku
Setiap do'a yg kau panjatkan selalu sebut namaku
Kutahu, senyumu menyapaku sangat tulus
Kutahu bunda, hatimu selalu terjaga di setiap gerakku

Tuhanku
tanganku tengadah berharap
bs membahagiakannya seperti dia membahagiakanku
Berharap selalu indah mimpinya setiap malam
berharap dia selalu mendapat senyuman tulus
Setulus senyumannya padaku setiap pagi
Saat ku terbangun dari tidur
Berharap semua anugerah itu datang padanya
Damaikan dan Sejahterakanlah dia

Wahai bunda pelangi dan matahariku
sampai kedipan terakhir mata ini,
takan bs ku balas terang cahaya yg kau berikan
Wahai bunda purnama dan kejoraku
sampai di ujung nafas ini,
takkan bisa ku balas tulus murni dan kesucian kasihmu
Wahai bunda, pelita hidupku,
Kupersembahkan ini dengan tulus hanya padamu

Abdie,2010
Untuk Resah Sahabatku


Tak ada guna kau salahkan gelombang
Tanya saja ombak yang beriak
Tak perlu pula kau bimbang
Hanya karena emosi sesaat

Saat dermaga yang kau bayangkan
Tak memberimu tempat berlabuh
Tak perlu kau sesali, apalagi mencaci
Saat kau berharap mawar
Namun duri yang di dapati

Tak perlu kau tangisi, apalagi memaki
Jadikanlah indah dalam bait puisi
Dengan tinta, air mata, suara hati melebur lara
Menyatu dalam rasa

Cinta bukan pesta, ramai sesaat kembali senyap
Bukan pula kembang api, indah warna warninya hanya sedetik
Kembali dalam sepi, tenggelam dalam gelap
Percayalah, kehadirannya untuk di mengerti
Dan dia akan datang untuk yang mau mengerti


abdie,2010

Tak Peduli Tuan Siapa

senja tak tinggalkan pesan
hanya mata melihat matamata
tumpuk dusta serupa bukit
pujangga, penjaja kata atau cendekia
tokoh agama, atau penguasa negara 

rumus kata sejuta kalimat tuan jagonya
tuan hafal di luar kepala
sayang, bahasa tuan untuk sendiri
kami tetap tak mengerti
seperti cendekia, gudangnya kata bijak
tuan sangat pandai berkilah
jeli melihat setiap celah

mirip khalifah dakwah tanpa tuah
berkata tentang nikmat sorga dan api neraka
seolah tuan pernah kesana
bercerita tentang nabi dan manusia
seolah tuan akrab dengan mereka yg mulia
sedangkan disini di atas tanah ini, kaki kami
tak mengenal kata bijak,pun kalimat mulia tuan
hanya akrab dengan bahasa biasa biasa

tuan bilang menyayangi kami
'sahabat lumpur dan comberan'
yg tak paham kata bijak, dan makna dakwah
hanya menulis kalimat lumpur dan duri
tinta pun hanya comberan
tembang dan dendang tuan tak mnggugah rasa 
suara merdu tuan tak mengetuk hati kami 

perlu tuan ketahui,
bahasa biasabiasa kami mengajarkan tentang diri
comberan mengajarkan kami tdk membenci
lumpur menyuruh kami berbagi
duri mengingatkan kami untuk tidak melukai

tuan bijak dan mulia
mata kami tidak buta
tuan arif dan bijaksana
mata kami melihat dusta

hai tuan!
lihat! embun menuju ujung daun
hai tuan!
aku tidak peduli tuan siapa


Abdie,09042011

Kamu Sahabatku

saat darah mengalir
nadi berdenyut
jantung berdetak
adalah hidup

rasa menyimpan makna
kokoh seperti karang
di samudra membentang
semua guratan kehidupan

teguk saja luka yang panjang
agar terasa langkah saat di jejakkan
menggurat di bekas telapak
arti kebersamaan

dalam bising suara kebohongan
aku tak pernah merasa kehilangan
krn kau adalah bagian dari tubuh ini
nafasku nafasmu sahabatku!


Abdie,2010

Merapi Berbisik

tak mudah untuk mereka lupakan
meskipun kita hanya membayangkan
saat awan panas menerjang
membakar semua harapan

Gemuruh sang perkasa lontarkan batu
bekukan kalbu, sirnakan asa
hujan abu di atap rumah dan halaman
mengubur semua impian tentang masa depan

sesaat matahari kirimkan kabar
tanpa ada yang mampu membacanya
lahar yang datang timbulkan arang
sisakan tulang belulang

saat terdengar orang- orang menjerit,
si bijak mulai berulah, dengan lantang ia teriak
tak perlu di tangisi, takperlu di sesali, inilah takdir,,
ternyata hanya salahkan takdir

merapi berbisik, esok pagi aku bangunkan kesadaran
meski tidak semua terjaga, tidak semuanya
kesadaran itu muncul dari balik debu
kesadaraan itu muncul dari balik reruntuhan bangunan

saat janda janda mulai menangis, berkaca di cermin retak
saat duda- duda bermunculan, berteriak dengan suara parau
tangisan anak –anak dari tenda pengungsian
orang – orang tua dan jompo tengadahkan tangan

merapi berbisik, lihatlah apa yang akan terjadi
saat teriakan dan tangisan, mulai terdengar
saat tangan – tangan di tengadahkan
sang dermawan atau penjilat yang akan datang

Abdie,18122010

Akui Saja

Akui Saja,
Iya atau tidak, nyata ataukah maya,
Saat jari telunjukmu yang berkuku tajam menunjuk
kekuasaan itu ada di ujung jari berkuku tajammu


Akui saja,
iya atau tidak nyata ataukah maya
kau berharap kesenangan datang dari ujung jarimu itu
kau berharap kebahagiaan saat kaum lemah sedang berduka


Akui saja
Iya atau tidak nyata ataukah maya,
Apakah kuku tajammu itu menusuk jantung para pembangkang
Ataukah membuat senang musuh-musuh kebenaran


Akui saja
iya atau tidak nyata ataukah maya,
Kau katakan pajak yang kalian berikan akan kuganti dengan kemakmuran
Padahal kau telah persiapkan mesin untuk menghancurkan


Akui saja
iya atau tidak nyata ataukah maya,
Kau memang setia pada janji, taat jalankan sumpah
Hingga titipan kau rubah menjadi milik sendiri


Akui saja
iya atau tidak nyata ataukah maya,
Ujung kukumu yang tajam, berisi Undang - Undang
Jadi senjata ampuhmu mengais rejeki


Akui saja
iya atau tidak nyata ataukah maya,
kau hanya membungkuk tetapi tidak takut pada hukum
karena sebenarnya hukum itu ada di ujung jarimu, hingga bebas mengelabui


Akui saja
iya atau tidak nyata ataukah maya,
menjunjung tinggi tugas negeri hanyalah nomor dua
menunaikan kewajiban bersama selir - selirmu adalah prioritas utama
Akui saja, ini bukan dunia maya




Abdie,15122010

00:01 01.01.11

Sedetik lalu sudah menjadi sejarah
tercatat tak bisa dihapus lagi
sekarang apa yang sedang kita lakukan
hanya menanti hari esok yang belum pasti bisa di nikmati
karena tdk tahu apakah nafas ini mengantar kita sambut pagi

Sedetik lalu aku bukan siapa - siapa
sekarang sama saja bukan siapa - siapa
bukan pujangga dengan sejuta keindahan kata
bukan raja yang menduduki singgasana

aku hanya pesakitan
terdampar di dunia fana
terlena dalam rengkuhan nista
hingga rapuh jiwa dibalut raga bernoda

Sedetik lalu menyadarkanku
tentang sesuatu yang tersembunyi
mengisi waktu jalani hidup bukan hanya untuk diri sendiri
namun berbuatlah untuk seisi bumi


Selamat Tahun Baru 2011
Abdie,01012011
Kemana Aku Harus Pulang


Terlahir di padang ilalang,
Tertutup rimbun semak belukar
Kuanggap ibu padang yang gersang
Rimba belantara ayahanda tercinta

Berjuta anak terlahir miring, 
Saat kemarau seperti bara memanggang
Mimpi indah masa depan terhalang asap tebal
Memaksa terbang tanpa sayap

Sampai nafsu menjadi tunas
Tumbuh subur dipermukaan dinding harapan
Gelapnya goa, dalamnya samudera,
Muara yang melingkar, curam tebing yang miring

Empat arah mata angin
Semua ku lalui tanpa peta
Sampai pada sebuah tanya, 
Kemana aku harus pulang?

Padang ilalang atau rimba belantara
Dan tetap biarkan tunas nafsu semakin subur,
Tetapi aku tak mau pulang saat aku menjadi ganas
Dan tak akan ku biarkan tunas nafsu itu tumbuh subur

Tidak mungkin kau berikan sunyi, 
Tak mungkin kau tiupkan angin
Sebarkan sinar terangmu, 
Ku injakkan kaki di bumi, ku dengar nyanyian langit
apa sesungguhnya yang di rahasiakan dunia?
aku hanya mau tahu kemana aku harus pulang?


Abdie,24122010

Kopiku Bocor

car cer cor, kopiku bocor
teror meneror siapa di teror
dar der dor buku jadi detonator
terselip di balik jubah sang aktor
rar rer ror
otak kotor pikir pun eror
menambah resah panggung ketoprak humor
panggung hiburannva para koruptor

Ada apakah?
benarkah hukum itu ada
lalu dimana,
Ratu adil berkepala garuda
pemilik syair nusantara, 
yg menyatukan perbedaan sara
menjadi mutiara bernama Indonesia 


Abdie,20111

Cermin Tanpa Kaca

dicermin itu, 
sejuta matra mengalir
deras bagai arus, menggerus
dinding - dinding rapuh  

jerit tangis anak -anak sungai
saat perahunya tak sampai dimuara

dari atas jembatan,
teriakan terdengar nyaring
kembalilah kamu ke tepi
muara tak akan kemana

pecah galau di cermin tanpa kaca
sepotong kain berkalung di leher
ujungnya sobek, tersangkut duri


bersaksi mata di pinggir sungai
deras peradaban menggerus nurani




Abdie, Citarum12012010
Siapa Aku


Tak perlu kau cari karena aku tdk bersembunyi
Hanya karena kau lupa diri aku tak pernah kau jumpai
Tiada guna kau mengejar karena aku tak pernah lari
Hanya karena kau belum sadar menganggap aku telah pergi
Apakah aku, kau belum tahu
Aku adalah penglihatan di balik kedua matamu
Aku adalah pendengaran di balik telingamu
Aku adalah penciuman hidungmu
Aku adalah ucapan dari mulutmu
Akulah pandangan dalam otakmu
Aku adalah pemikiran dalam rasamu
Aku adalah terang dalam gelapmu
Aku adalah cinta dalam  kebencianmu
Aku adalah kasih yang terkurung kedengkianmu
Akulah kesucian yang terbungkus kotormu
Akulah kemuliaan yang terhalang kehinaanmu
Akulah keindahan kalimat sajakmu
Akulah penyair setiap lirik puisimu
Aku adalah ingatan yang dilupakanmu
Saat kau anggap aku jauh, aku selalu dekat bersamamu
Satu kedipan matapun aku tak pernah menjauh
Setapakpun tak pernah kulewatkan langkahmu
Karena langkahmu adalah langkahku
Akulah gerak seluruh tubuh murkamu
Siapakah aku, kau belum tahu
Aku adalah kamu, yang terasingkan oleh pengkhianatanmu
Aku adalah kamu, yang terkalahkan amarahmu
Aku adalah kamu yang tersisihkan ambisimu
Akulah hidupmu yang belum kau temukan
Akulah hidupmu yang harus kau nyatakan
Akulah pemilik segalanya
Kamu tidak miliki apa – apa, itulah kamu


Abdie,2011
KEMANA


Kemanakah suara kicau burung saat pagi tiba
Kemanakah kupu – kupu putih saat musim bunga
Kemanakah kumbang – kumbang saat kuncup mulai mekar
Kemanakah belalang saat daun – daun tumbuh
Kemanakah nyaring suara jangkrik saat malam tiba
Kemanakah burung hantu yang biasa bernyanyi malam hari
Kemanakah nyanyian camar hitam di atas batu karang
Kemanakah suara lantang sang raja hutan
Kemanakah tarian eksotis sang kancil
Kemanakah kepakan sayap burung elang
Kemanakah telinga kita saat kicau burung tak terdengar
Kemanakah mata kita saat kupu-kupu putih tak terlihat lagi
Kemanakah kita saat semua tak terlihat, tercium, terdengar
Kita tidak kemana – mana


abdie,2009
Aku, rakyat dan Penguasa Negeri


Wahai penguasa negeri yang bijak
Kau selalu mengerti keinginan hati rakyat
Kau selalu berusaha tingkatkan harkat dan martabat
Ketahuilah kehadiranku bukan untuk menjadi keparat

Kita tahu matahari akan selalu muncul
Tetapi bulan dan bintang tidak akan selalu nampak
Aku  memohon kepadamu penguasa bijak
Tolong berikan obat untuk rakyat yang semakin sekarat

Karena ulah BIROKRAT bejat
Tidak paham makna BERADAB
Gedung Rakyat dijadikan medan tempur
Para POLITISI  dan pakar HUKUM yang semakin ngawur

Kita semua tahu usia bumi semakin renta
Namun di atasnya kegilaan semakin nyata 
Air samudra ini tak lagi bening
Tercemar limbah kebusukan penguasa 

 MORAL ataupun NORMA menjadi barang langka
 ADAT ataupun BUDAYA sirna di telan keserakahan
 Anak negeri tak lagi mengenalinya
 Hanya orang tua yang mengenangnya

Wahai penguasa bijak, Aku berharap
Esok pagi saat sang surya terbit
Jangan biarkan RAKYAT melarat
INDONESIA, tidak lagi menjadi air mataku


Abdie,06012011

Limbah

ini negeri lintah
reformasi tanpa kuah
demokrasi milik kaum berkerah
nyanyian para koruptor semakin meriah

di tiang itu merah putih jadi merah merah
kemanusiaan di gilas sifat sifat serakah
menangis jelata yang di gusur amarah
dalam kisah ini aku hanya menjadi limbah

saksikan jalanan yang terus berdarah
kutulis catatan menunggu musnah
sekedar bacaan tanpa sejarah
karena cerita habis dijarah

waktu yang tak pernah lelah
dalam siang yang terasa gerah
temani segenap resah
saksikan semua kisah


Abdie,26062011

Tubuhku

tertunduk di tanah merah
hujan membuatnya basah

menjilat waktu
mengenang dulu
memahami rahim
tujuan pulang
ibu yang menangis
di telapak kakiku

hasrat menghangat
waktu berjingkat binal
meregang urat urat
terbelenggu segala norma
pasrah terantuk di tubuh selingkuh
merayapi lembah - lembah liar

tubuh,
serupa prosa
baca, pahami
hingga bait terakhir
robek atau hancurkan
terserah mau mu
sementara ku pilih diam


Abdie,20011

Sajakku Jelang Upacara

Dalam tiap putaran bumi
Selalu ter iringkah senyum di bibir ibu?
Seperti hari lahir kita yang di sajakkan
Tak sisakan kehampaan

Melukis kanvas dengan tawa
Cerita tanpa goresan luka
Darat dan laut di dendangkan
Langit jadi naungan maha sempurna

Telapak tangan zaman dahulu
Menjadi warna lukisan senja
Saat kumandang bergema 
Merdeka seluruh penjuru nusantara

Isi rimba ikut berdansa
Soekarno dan Hatta jadi legenda
Nafasnya legakan rongga jelata
Itu dulu sejarah yang kubaca

Kini mereka kembali sesak
Nafasnya tergadai di ngarai-ngarai
Tak ada lagi setetes susu
Yang keluar dari puting ibu

Pesta usai berbagi ceria
Mereka siap menjadi bangkai
Menghiasi dinding istana dengan damai
Setelah lantunkan kidung leluhur


Abdie,Gunung Papandayan16082007