Ae. R


Minggu, 10 Juli 2011

Mulut Beling

mulutku mulutmu
beradu di bibir beling
mengalir cinta teteskan luka
teguk candu berlabel rindu

di mulut - mulut
mengulum makna
jentik cinta dalam beling
rindu memecah hening

berkelana jelajahi lembah kelam
berserak nafas lemas di lantai
mulut beling mengumbar hasrat
lunglai sesal sekejap nikmat

hampa di beranda pagi
hirup embun, keluh di hangat mentari
mulut beling memecah jiwa
luka di ujung beling

Abdie, Bandung 1998
Kata

kata menjelma aku
kata menjelma kamu
kata membuat aku dan kamu bahagia
kata melukai aku dan kamu
dengan kata - kata 
aku dan kamu 
memahami
Cinta


Abdie,10072011

Senyum Peluh Tubuh

mendung merundung
wajah - wajah kota kembang
liar mata, teriak mulut di keluh zaman

catatan derita memeluk mereka
memaksa duduk di bawah lentera
yang terangi bilik berlabel jasa

peluh derita bertukar dengan nafsu
yang di bayar lunas selembar nikmat
lega nafas, esok pagi segera membeli cinta

senyum anak-anaknya dalam sepiring nasi
membuat ia bahagia sembunyikan luka
entah sampai kapan ia bahagia


Abdie, Bandung 21012009

Memecah Relung

Tumpah ruah
Pesta pora para bedebah
Demokrasi bersimbah darah
Tinggalkan resah di halaman rumah

Ibu - ibu tangisi anak-anaknya
Yang pulang kerumah tanpa nyawa
Tanpa sejarah mengingat mereka
Tanpa bunga taburi keranda

Abdie, Jakarta 1998

Kepada Gunung

menjulang tinggi gerbang dewata
kokoh pijakan menyeru semesta
berakar yakin mencumbu sang surya

renung menggunung memuji yang agung
tumbuh pepohonan berikan kedamaian
sejuk tertiup hembus semilir sang bayu

turuni ngarai singgah di lembah
akar-akar alirkan tirta mengalir menuju muara
singgah di kali mengairi pesawahan penuhi sumur -sumur

tanah- tanah menjadi subur seiring terang sinar sang surya
tumbuhkan pohon - pohon kehidupan mengisi ke fanaan
berjalan kita di atasnya, mencari tahu di mana muara fana

curam tebing dalamnya lembah mengakar keyakinan
menuju gunung, gerbang antara fana dan muara kehidupan
kepada gunung-gunung ku lantunkan kidung


Abdie,G Manglayang 2011



Gunung Cikuray

Nangtung ciciren nu maha agung
Neundeun rupa-rupa tulisan
Kaluhungan jeung kamulyaan

Kahirupan di alam dunya
Lilana ukur sakiceup mata

Ngaliwatan Giri Wa'as
Lembur singkur sisi gunung
Kiwari tinggal waasna

Cikuray ngagupay nyata
Sadar kana kiceupan mata

Abdie, Garut 2007

Cadas Pangeran

Antara Bandung Sumedang
Ngaliwatan Cadas Pangeran
Jalan nu dibangun mangsa penjajahan Balanda

Medar pangeusi tatapakan
Sajeroning aspal hideungna
Aya beureum getih luluhur urang

Kagagas rasa ngaguar carita
Kiwari urang tinggal ngeunahna
Bari poho kanu sejarahna

Cenah urang bangsa anu mulia
Tara poho ka luluhurna
Nu puguh ukur hianat, ngajarah hasil sejarah


Abdie,Sumedang 2010

Sumedang

ngabedah muka sejarah
carita tatapakan baheula
karajaan wewengkon sunda

katelah Prabu Tajimalela
raja luhung mangsa harita
kungsi tandang ka kahyangan


mawa amanah para dewa
mingpin hiji karajaan sunda
Sumedang Larang katelahna


mungguing raja linuhung
Sumedang medal makalangan
ngalalakon di zagat pawenangan


ngalanglang buana
antara Cirebon Sumedang Banten
neundeun carita rusiah Pajajaran harita


Sumedang Larang rarangkum Pajajaran
Mahkota nu aya ciciren nyata
Sumedang larang Pajajaran wekasan




Abdie,Sumedang 2008
Syair Pagiku


bukanlah bunga mawar
yang ku genggam menyambut pagi
ku tuangkan rasa pada sang surya
merindumu sampai ujung hari
hingga mentari
benamkan aku dan kamu
di beranda masa
lalui senja


Abdie,10072011


Puisiku

tertatih memakna puisi.
tak ingin melihatnya mati
indahnya hanya sia -sia
seperti tubuh tak terbaca

duhai matahari
jadikan saja ia langkahku
jalankan hidup di bawah terangmu
menjadi nyata walau hanya sejengkal jejak


Abdie,10072011

Gadisku Malang

melangkah
lewati liku-liku
kaku membisu

kaki - kaki
borok bernanah
mengucur di tanah

menangis bunda
melihat anak gadisnya
bertukar peluh dengan darah
di negeri antah berantah

lalai raja di negeri tercinta
penyumbang devisa
kembali dalam keranda
tanpa keadilan menuju pangkuan bunda



Abdie,10072011

Bola Mata

bola-bola
mata-mata

mata melihat bola
bola api membakar nurani

bola menjadi mata
garang tatapnya binasakan jelata

mata-mata penguasa
bola amarah menjarah kaum lemah

bola mataku membakar hati
memaksa tangan menulis sajak
untukmu penguasa bejat

Abdie,10072011

Gurat di Jidatku

meranggas dahan
gugur daun-daun
berjatuhan ranting
tumbanglah pepohonan

merangkak di bawah panji-panji
corong anak-anak negeri teriak azasi
di tembus selongsong kosong janji
retak sudah nurani penguasa negeri

terkapar tanpa nisan
reformasi demokrasi
sisakan cerita luka tanah pusaka
gurat di jidatku di serempet tirani


Abdie,27072008

Cahaya Negeri Yang Terlupakan

Panas terik membakar bumi pertiwi
Langitpun enggan memberi teduh
Seakan malas angin berhembus

Sepertinya enggan pula berbagi sejuk

Mengering airmata Pertiwi

Panas tubuhnya seperti sirna
Tak ada penawar dahaga dan kehangatan
Barat, timur, utara dan selatan, tak memberi lagi tempat bernaung


Inilah wajah negeriku
Kelaparan berjalan di jalanan berdebu, dan berbatu
Di jalanan aspal yang berlobang,

Di atas pecahan trotoar jalanan
Di atas tanah retak, berserakan ranting dahan rapuh
Miring papan reklame di pinggir jalan, gubuk miring pinggir kali
Mereka tetap berjalan mencari tempat penawar lapar


Inilah wajah negeriku
Suara serak dan parau robot lapar yang berteriak
Dimana tuanku,dimana sang raja, tempatku bernaung
Dimana pangeran besarku, yang mampu menerangi pertiwi
Apakah dia terbang bersama debu jalanan, atau sembunyi di bawah tanah retak
Atau duduk manis di balik papan reklame miring
Teriakan parau itu adalah suara negeriku


Sementara badut dengan seragam safari, asik menari di atas panggung
Tak pedulikan robot lapar yang mulai lunglai

Bapa monyet di atas mimbar, meneriakan perdamaian
Tetapi teriakan lantang itu berakhir pertikaian
Inspirasi yang membentuk emosi para politisi, tidak membuat indah bait dalam puisi negeri
Tetapi berubah jadi ambisi yang berbuah konspirasi


Anarkhi seperti sarapan pagi anak anak negeri yang mencari jati diri
Tak hiarukan robot lapar yang berkeringat nanah dan darah
Yang membanjiri jalan- jalan desa, anak hutanpun ikut hanyut dengan busur panahnya
Mengalir deras dihalaman istana, jalan besar hingga tiap sudut kota


Inilah wajah negeriku
Selembar naskah kebijakan hanya jadi coretan dinding gedung rakyat
Menghasilkan tulang belulang robot-robot lapar yang tergeletak
Keadilan hanya jadi syair lagu yang tidak laku dan bait lirik puisi robek
Ratu adilpun menangis karena hanya di pajang dalam ruangan mewah
Indah terpampang di balik kursi bapa monyet, dengan menyimpan berjuta makna


Inilah wajah negeriku
Debu jalanan, ambisi penguasa, keserakahan sang raja, parau suara robot lapar
Nanah dan darah yang mengalir, belulang robot lapar yang berserakan
tarian panggung badut bersafari, sajak bp monyet di atas mimbar
Membunuh makna PANCASILA
Membinasakan arti BHINNEKA TUNGGAL IKA
Cahaya Negeri yang terlupakan
Putuslah sudah rantai persatuan bangsa,

Lelap dalam mimpi damai anak- anak negeri


Abdie, 09052010

Tong Jadi Halangan

Batur salembur
Baraya sa desa
Sabangsa sa nagara
Sakabeh pengeusi dunya

Sobat akrab ti bubudak
Sobat dalit ti leuleutik
Anjeun guru kuring 
Anjeun dulur kuring

Nyaksi ucap jeung lengkah 
Mere kecap kana manah

Mawa genah tumaninah
Hirup rukun sauyunan
Jauh tina papaseaan
Ciciren urang silih hargaan

Pada-pada mahluk pangeusi alam dunya
Sakuduna urang silih kanyahokeun
Sanajan beda kulit beda bahasa
Tong jadi halangan keur meungkeut duduluran


Abdie,10072011

Peuting Harita

Saung ranggon mere carita,
tangkal caringin di pasir peuting harita
jadi saksi anu nyata, lahirna jabang bayi 
lahir ka bumi ngalalakonkeun kaluhungan gusti
di barengan puja jeung puji


caringin mere carita
gera sadar jeung muka rasa istighfar tong elat muja,
nyata urang kudu rumasa kalakuan jauh ti sifat manusa
dosamah geus puguh loba, nyieun codeka dimana - mana,
urang memang jalma biasa, nu biasa ngalakukeun nista
nu ngimpikeun meunang sawarga, padahal euweuh daya jeung kawasa

Hampura ema, hampura bapa

mugia di lungsurkeun cahaya nu nyaangan raga
ngaraksa, nengtremkeun lampah nyata, di dunya tempat abdi ngumbara


Abdie, Saung kuring 290510

Maafkan Aku

Menyapa senja menjawab tidak
Menyapa malam berucap jangan
Namun tak pernah letih aku mencari
Saat kuingat kau pergi, tinggalkan senyum mengiris hati

Pelukis langit memberi warna
Saat seniman semesta lupa bacakan mantra
Saksikan pagi yang berseri berlalu pergi
Tanpa sempat menitipkan janji

Siang beranjak tanpa memberi kabar
Namun tak pernah terlintas putus asa
Meski rasa menyimpan luka, dengan sejuta cerita
Mengiringimu berjalan menuju cahaya
Tinggalkan cerita dunia fana

Sayang,
Kini aku tahu pagi akan selalu pergi, tanpa kata janji
Namun harus kupahami pagi akan selalu kembali
Kini ku mengerti, hujan turun basahi bumi
Terkadang derasnya tak sempat kabari awan

Di atas pusaramu,
Aku menyadari setiamu dulu laksana batu
Tiada jemu tak kenal ragu, aku terharu
Akan semua lalaiku aku malu,

Sayang maafkan aku!
Kini kupilih diam untuk menanti mentari pagi 
Kita berbagi terang meski berbeda alam 
Namun rasa tak terbatas jarak dan waktu


Abdie,1999

Kabar Negeriku

Merah di atas tanah negeri
Wajah manis di balik hati meringis
Saat kekacauan di tambal kemilau palsu
Kejujuran duduk kaku di kursi roda
Di amputasi hingga lumpuh
Tak mampu lagi berdiri apalagi berlari
Untuk bebaskan negeri dari ganasnya tirani

Di atas tanah negeriku
Dagelan humor sedang di gelar, hiburan jelata saat lapar
Syair manis pujangga negeri, seperti malaikat penyelamat datang
Berteriak tentang kejujuran, kedamaian, bahkan keadilan
Sesaat obati luka kaum jelata dari pinggiran negeri
Mereka tidak sadar penghisap darah tengah bersiap

Di atas tanah negeriku
gemilaunya akan tetap palsu, dagelan tetap berjalan
kejujuran tetap kaku duduk di kursi roda
ratapan jelata pinggiran tetap terdengar
sebab kedamaian hanya sebuah cerita indah belaka
keadilan hanyalah penggalan cerita sandiwara
cerita klasik negeri dongeng, pengantar tidur bocah ingusan
yang berteman busung lapar

Di atas tanah negeriku
jika tidak mau jadi musuh peradaban kaum bermartabat
jangan rindukan terang apalagi mencoba lepaskan beban
jangan pernah harapkan kebobrokan terungkap
karena dia sedang menguliti kebenaran,
membenamkannya dalam bait naskah pidato kebohongan
sebab rasa malu telah di rapikan, terkunci dalam peti
saat lembaran kertas bernilai dan singgasana berlapis emas
menjadi sandaran, meruntuhkan kemurnian nurani

Wahai penguasa negeri!
dengarkanlah nyanyian hati, syairnya murni tanpa intimidasi
bebaskan jiwamu dari belenggu tirani yang membuat tersesat
tidak kah kau  inginkan terang, rindukan damai dan keadilan?
untuk jalan dan hamparan anak cucumu jua nanti

Abdie, 20072010
Google Photo


Pesan Untuk Sahabat

Malam ini belum larut, kunikmati segelas kopi panas 
Berharap bisa mengusir suntuk dan cemas
Begitu terasa manis dan pahitnya kopi ini

Terasa lebih nikmat setelah larut dalam segelas air panas

Sebatang rokok kretek menemani

Kubuat bulat asap yg keluar dari mulutku
Sejenak bisa mengusir suntuk dan cemas

Kupandang bulan dan berjuta bintang
Lupa pula waktu berlalu 

Tiba – tiba suara burung hantu mengagetkanku
Seakan dia mengingatkanku, kemudian dia terbang menghilang di pekat malam

Kembali kupandang bulan dan bintang, membayang sketsa wajah 
Ternyata benar burung itu mengingatkanku pada seorang sahabat


Tuhan
dia adalah sahabatku, meski saat ini aku tidak tahu dimana
dia adalah napas dalam ragaku, sinar untuk jiwaku
dia adalah pemberian terbesarMU untuk mengisi hari-hariku
meski kami tidak seperti bulan dan bintang
yang selalu bersama menghiasi langitMu

kumohon bahagiakanlah dia


Tuhan
dia hadir dalam hidupku, duduk manis dalam ingatanku
seakan menari dan bernyanyi dalam ruang hatiku
meski hanya mendengar dia peduli keluh kesahku
meski hanya coretan, dia rela membacanya
dan dia selalu mengingatku saat panjatkan do’a


Tuhan
kami membuka mata hati untuk dapat melihat dunia 
saling berbagi, mengungkap segala cerita
tertawa saat suka, menangis disaat duka
meski kami tidak seperti kisah adam dan hawa, tiada batas yang memisahkan
kami selalu tetap saling memberi, semangat dan motivasi saat kami berjauhan
untuk dapat menerima semua kenyataan dan cobaan dalam hidup


Tuhan
adakah waktu untuk kami bertemu walau sedetik 
menyatu seperti manisnya gula dan pahitnya kopi
sama -sama larut dalam segelas air panas

berbagi seteguk nikmat dengannyauntuk berjalan bersama membulatkan tujuan, 
seperti bulatnya asap rokok yg keluar dari mulutku


Tuhan
walau hanya suara, biarkanlah tetap terdengar
walau hanya tulisan biarkan tetap mengisi lembaran kisah hariku
walau hanya angan biarkan dia tetap duduk manis dalam ingatan
terus menari dan menyanyi dalam ruang hati


Tuhan
biarkan persahabatan kami kekal
seperti bulan dan bintang di bawah langitMU
seperti adam dan hawa yang berjalan dengan anugerahMU
seperti gula dan kopi yg larut dalam segelas air panas
bahkan kematianpun bukan pemisah buat kami
semoga Tuhan memberkatimu sahabatku

aku menyanyangimu

Abdie,Bukit Pasir 06052010

Hanya Debu Jalanan

tak ada cinta dan kasih abadi, 
melebihi cinta dan kasihnya semesta 
sepanjang masa dia berikan segalanya 
kepada siapa saja, meski kita melupakannya

tidak ada pula do'a tulus 
melebihi do'a seorang pengabdi seperti nabi
meski dunia tidak mengetahuinya
dia tetap panjatkan do'a walau umat melalaikannya

aky yang dzalim di antara yang alim
aku yang khianat diantara mereka yang bijak
aku yang terhina diantara sosok mulia
aku yang salah dan mereka yang sholeh
aku yang tersesat diantara mereka yang khikmat
mereka yang jadi pejabat, atau aku kaum melarat
miskin diantara mereka yang kaya dan terhormat

namun semesta tetap berikan cinta dan kasihnya
dan sang nabi tetap tulus panjatkan do'a, 
tanpa peduli siapa, hina atau mulia
sementara cintaku hanya setetes air comberan, 
kasih dan do'a, hanyalah debu 
terbang tertiup angin lalu lenyap di telan derasnya peradaban
tinggalkan jiwa, sendiri kesepian
dibalik raga yang tertutup debu jalanan.


Abdie,2009

Tersesat

semakin jauh aku tersesat 
disuatu tempat dimana aku sendiri tak mengetahuinya
kesadaranku datang namun tersendat-sendat
aku tak berharap semua yang aku inginkan jadi kenyataan
namun menginginkan satu kepastian sepertinya tidaklah salah


hidup dalam kehidupan atau mati dalam pengembaraan 
semakin buram dan tak jelas saja pandanganku
lenteraku hampir padam walau sesekali berkedip-kedip 
kusaksikan sandiwara ceritanya tanpa makna
di atas panggung, sepintas terlihat sempurna padahal bohong belaka
mengalir deras seperti arus, namun tak tahu dimana harus bermuara
lenteraku, terangi jalanku agar kutemukan muara dari derasnya kehidupan




Abdie,2009