Ae. R


Selasa, 05 Juli 2011

Nyanyian Derai

kuyup di derai - derai hujan
keringkan basah di ujung hari
lantunkan kidung memuja cinta
derai  mengiringi lirih merindu

tersenyum,
basahi telapak basuh muka
teringat pesona pancarkan aura
yang menjadi dilema

duhai pemilik langit!
derai - deraimu begitu indah 
membasah di cermin usang
alurnya menjadi sebuah kisah

bayang wajahmu Nona!
tak luntur di derai hujan
selaputmu pancarkan aura 
kharisma rindu yang menyala
luluhkan rasa

langkah ini, 
tak kuasa tuk berlari
menjauhi degup jantungmu
tak kuasa pula tuk sembunyi
dari lembut senyum bibirmu

kuyup mengering tanpa terasa
hela nafas merindukannya
pada derai ku berkata
jiwaku terpuruk dalam dilema 



Abdie,05072011




Gerimis Di Bukit Pasir

sendiri di taman ini
batu besar kujadikan alas
tak ada yang bisa aku sapa
lamunan kosong ku isi cerita
saat gerimis datang menyapa

nikmati senja, bersama 
gerimis yang jatuh beriringan
di atas lembar dedaunan, di atas lugu bebatuan
titik airnya warna warni, saat tertembus sinar mentari
dari sela rimbun pepohonan

di atas tanah merah yang mulai basah
air mengalir, menghapus jejak- jejak kisah
tentang perjalanan, lama hati menanti pasti
kisah nyata tentang rasa, yang tertutup kabut murka

sendiri di taman ini, gerimis kian mengiris
nanum tak akan ku tinggalkan kau sendirian
enggan pula aku beranjak sebelum terungkap jejak
hingga ku dapatkan sebuah pemahaman
tentang keberadaan...

hingga rasa itu berbicara,"aku tetap bersama murkamu tetapi aku terbebas darinya,
meski amarah selalu bersama namun aku tidak teraniaya"
hati itu berbisik, "kini aku tak perlu menanti, karena aku selalu mengiringi"
Seperti gerimis yang mengiringiku larut dalam sebuah cerita, mengisi lamunan kosong

sendiri di taman ini, gerimis masih saja mengiris
namun akhirnya aku mengerti, jiwa ini tersisihkan
oleh sempurna dunia yang membutakan,
terjebak dalam samar kasih sayang

sendiri di taman ini, pada gerimis aku mengemis
agar esok rasa itu tetap berbicara,
hati itu tetap berbisik
dan jiwa ini tak lagi tersisihkan
hingga akhirnya, sempurna atau teraniaya

sendiri di taman ini, 
esok aku akan merindukanmu
duhai gerimis..


Abdie,08112010

Dongeng Bejo

Bejo, bujang yang di bulan Agustus 2005 genap berusia 35 tahun, punya impian agung membeli Nokia 3120, komputer Pentium 4, Mitsubishi Colt L300, dan sebuah  rumah mungil di sebuah kampung.  Dia menghitung dengan cermat duit yang dibutuhkannya untuk mewujudkan impiannya itu. Berdasarkan perhitungannya ia butuh Rp. 69.999.999,- (ia memutuskan untuk menggenapkannya jadi 70 juta karena takut dituduh ingin korupsi Rp. 1,-). Ia pun rajin bekerja, ia kuli bangunan, upah kerjanya Rp. 35.000,- / hari (besar upah buruh bangunan entah kenapa sangat stabil). Itu artinya ia butuh bekerja selama 2000 hari non stop. 2000 hari berarti 5 tahun lebih 174 hari (bukan 175 karena tahun 2008 adalah tahun kabisat). Agar duit hasil nguli itu utuh, maka untuk mencukupi kebutuhan makan, rokok, sabun, odol, Bodrex dan Canesten, malam hari ia pun kerja sebagai penjaga gudang milik seorang bos bermata sipit. Ia memang pekerja keras, tidak seperti umumnya Pegawai Negeri. Setelah usianya genap 40 tahun lebih 174 hari (yakni pada bulan Februari 2011) duitnya benar-benar sempurna seperti yang sudah ia perkirakan. Namun ternyata uang 70 juta itu ≠ Nokia 3120, komputer Pentium 4, Mitsubishi Colt L300, dan sebuah  rumah mungil di sebuah kampung. Uang 70 juta itu telah meng-convert impian Bejo menjadi Blackberry 9700, Laptop i7, Hummer H2, dan sebuah villa di bukit yang sejuk, jauh dari polusi udara. Duit 70 juta rupiah harus dijadikan 6 milyar 124 juta rupiah. Jika profesi Bejo tetap sebagai kuli, dan bukannya pegawai bank cantik yang tega menipu para nasabah, maka jelas ini mimpi yang absurd. Kenapa? Karena ia akan butuh waktu tambahan sekitar 473 tahun. Manusia modern tidak ada yang berumur sepanjang/sebanyak itu. Solusi praktis; mari kita belikan dia sepasang batu nisan seharga 1 hari kerja ngulinya, niscaya impiannya akan padam. Ok, bro...?




oleh Malkan Junaidi 27 April 2011











Imajinasi Dalam Secangkir Kopi

Tak usah mendulang rembulan
memandangnya saja bikin hati senang
Tak usah membilang bintang
cahayanya saja bikin hati tertawan
Tak usah menjilat matahari
sinarnya saja bikin wajah berseri
Tak usah membelah langit
cukup gantungkan cita-cita setinggi langit
Tak usah menyelam laut
kedalamannya saja bikin takjub
Tak usah menembus bumi
karena udaranya tipis sekali
Nikmati saja karunia Illahi Robbi
dan lukislah imajinasi dalam secangkir kopi


Ambarawa, akhirdesember 2010


bayang-bayang negeriku

1/ pengembara keadilan
    menyusuri negeri tanpa suara 
    menggenggam tekad
    mengepal hasrat

2/ para musafir
    mengendarai asa purba
    menuju tanah harapan
    menjemput mimipi yang entah kapan

3/ kafilah menyibak gaduh gurun
    bermandi pasir
    berpeluh darah
    menatap bayang masa depan

4/ aku di sini
    bersama kamu
    menanti keadilan
    yang masih di ujung semu

didiek soepardi ms
29 juni 2011


Pesta Demokrasi

Mulai banyak wajah bertebaran
Nomor mulai berurutan
Gambar diri mulai terpampang
Di jalan.....

Di media-media pesta demokrasi di mulai
Layaknya mereka yang sedang…
Melamar kerjaan

Mengaku bersimpati
Memaparkan ide.....
Seakan diri pakar pemecah solusi
Kalo makan ya.... kenyang sendiri

Mencoba tebar karisma
Agar diri bisa di terima
Mencoba mendengarkan
Apa yang di mau si kecil

Sudah ku bilang tadi....
Mereka layaknya si pencari kerja
Si pengangguran yang berdasi
Begitu diterima…
Orientasi memperkaya diri

Aah.....

Pesta demokrasi
Sangat basa-basi
Diakhir cerita…
Tetap saja si kecil yang rugi


060709 (saat pemilu 2009)

Hadapi Saja

raihlah malam,
tak perlu menolak siang
pertemuan pun perpisahan
adalah pasangan kehidupan

dua sisi dari koin yang sama
tak perlu membungkam sebuah catatan
lambaian perpisahan pun jabat tangan pertemuan
kehilangan bukanlah kesendirian yang membisu...

Abdie,2011

Di Bawah Purnama

Semilir yang membelai
Flamboyan melambai
Mengajakku merenung
Nikmati hening di bawah terang

Gemercik air mengiringi
Perjalanan  memasuki sunyi
Semilir lelapkan renungku 
Kulihat ruang gelap tanpa cahaya

Di bawah purnama,
Tiap sudut ruang ku telusuri
Tak kulihat tulisan dinding bermakna puji
Hanya kalimat kedengkian, yang menyerukan keangkuhan
Tak pula kutemukan hiasan bermakna puja
Hanya da deretan gambar kenistaan, berbingkai angkara

Dengan kalimat kedengkian, dalam pelukan kenistaan
Pantaskah aku menyebut nama yang Maha Kuasa?
Larut semakin menusuk
Aku terpojok, tersandar di dinding rapuh

Hingga angin bangunkan renungku, 
Seperti mengingatkanku
Kedengkian adalah jalan menuju kasih sayang
Gemercik air menyadarkanku
Dibalik gambar kenistaan adalah kesadaran

Kulihat purnama seperti berkata
“semua adalah pembelajaran, jadikanlah bijak dalam perbuatan,
Temukan pintu kematian, untuk memasuki kehidupan, hakiki yg abadi,
selamat mengembara, nyata hidup adalah pengembaraan”

Abdie, 2009

Pusara Kota

geliat mereka kala senja
nafas sisa-sisa
serapah pada pemilik dunia
utus perangai ke musim purba
laknat kembara, senantiasa

di sana lahir sebait tanya
tentang hati mulia
tentang sesama
tentang tipu daya
tentang duri dan duka

adakah jawabnya?



 oleh Hadi Napster Bandung, 02 Januari 2010
[Untuk seluruh pengamen jalanan]


Luka Angin

aku melekat di ranting kering pohon mati
lalu jatuh menjadi tunas rumput bumi
aku kekasih dingin yang terkubur dibawah akar sepi
aku lantun hening berselimut tanah kering di kubur sunyi

aku hitam! mendung di merah dendam yang berkubang
aku debu! titik yang tak basah di tengah hujan
aku keruh! warna pelangi yang tak pernah mungkin datang

kekang! jerat tak terlepaskan
aku mati, abadi terkurung sesal tak hilang
perih, airmata yang tak mampu berlinang
aku patah, serpihan yang tak tersatukan

rinduku kenang
gundahku datang
luka angin ingin entah
tiada ingatan


oleh Eka Satya Kusuma Wardhana  19 Februari 2011 


Tanyaku Akan Alam

Apakah nuranimu tetap terbutakan
Saat bumi muntahkan isinya dan tenggelamkan berjuta asa
Asa yang tuk sekedar menuai segenggam bulir padi

Pun nalarmu masih begitu licikkah
Hingga mudahnya kulit ari saudara sendiri
Kau permainkan diatas api

Dan saat datang sang bayu dengan congkaknya
Berhembus mencabut dan terbangkan akar peneduh
Masihkah bara nyalimu tetap ada
Sementara kau tak ubahnya hanya segenggam kapas


oleh Rien Etya Siwi pada 26 September 2010

Haiii loe Tuan

Tuan!
Kata-katamu

Kuanggap seperti pupuk
Mampu menyuburkan tanaman
Sepintas seperti cahaya
Mampu terangi kegelapan

Lama-lama,
Kucium pupuk membusuk
Tanamanpun sepertinya akan segera mati
Gersang, tak lagi hijaukan pertiwi pun bumi

Lalu,
Redup, dan hilanglah cahaya itu
Gelap kulihat dimana - mana
Bahkan hingga ujung dunia

Ah, tuan!
Kata-katamu
Ibarat reaktor
High eskplosif

Bom Bali satu dan dua
Bahkan kisah Hiroshima Nagasaki
Ledakkannya boleh dibilang (low eskplosif)
Tetapi jangan lupakan darah dan air matanya

Seruanmu, 
Atas nama keyakinan
Adalah detonator memicu reaktor

Membenci sesama
Halalkan segala cara
Bisa ciptakan perang saudara
Mampu meratakan dunia
Bukan cuma Bali pun Hiroshima

Haiii loe tuan!
Lihat di cermin topimu miring
Haha, anda bukan siapa - siapa
Tiada beda dengan saya
Hanya sampah berbau busuk


Abdie,04072011